Tidak Berjilbab ke Masjid, Introspeksi Sama-sama!!

Masih hangat dibicarakan tentang pengalaman Kak Yetti (seorang cerpenis) ketika dia dan keluarganya salat di Masjid Raya Sumatra Barat. Kisahnya bisa sama-sama kita baca di twitter pribadi miliknya: @yettiaka. Klik saja di nama akunnya, kutautkan ke cuitan beliau tersebut. Cuitan tersebut juga ramai direspon oleh warganet, bahkan sudah diliput pihak media pula menjadi berita.


Warganet juga turut meramaikan kejadian ini dengan banyak perdebatan tentang hal ini, tentu tidak terkecuali media sosialku, khususnya pesbukku (klik untuk membuka). Ihhaa, anak pesbuk!!! Aku menyampaikan pengalamanku tentang ke Masjid lain dengan busana tanpa jilbab kala itu, tentu ada yang menyanggah. Poin yang diambil pastinya adalah kisah Kak Yetti-nya karena headline beritanya itu, tetapi melewatkan sedikit unggahanku yang memang menyoroti pengurus Masjid Raya-nya. Makanya aku memutuskan membuat unggahan ini untuk membacotinya lebih panjang dari pada sekadar unggahan pesbukku itu.


Sebelum bercerita, aku sampaikan bahwa alhamdulillah aku sudah setahun lebih dikit menetapkan hati untuk berjilbab. Jangan tanya alasannya kenapa, karena aku pun tidak tahu alasannya apa. Kalau dibilang aku ingin menjadi muslimah sejati, salatku saja sering bolong, masih cinta dengan kata-kata yang menurut orang lain kasar, masih menganggap mabuk itu biasa (meskipun aku tidak bisa minum beralkohol sama sekali, lain waktu kita cerita tentang ini), menghujat orang masih bisa dihitung juara, intinya tidak ada muslimah-muslimahnya deh si Reza ini. Bahkan di masa SMA ke sekolah pun lebih sering pakai celana pendek, kecuali sudah ditegur langsung. Menegurnya juga lihat siapa dan bagaimana menegurnya.



Lalu apa alasan sekarang berjilbab? Tidak tahu sama sekali. Kalau dibilang demi Ayah, Abang, dan Angga, ya tidak juga. Aku berjilbab jauh sekali setelah Abang menyerah menyuruhku berjilbab. Lalu apa? Ya tidak ada alasan, hanya ada desakan dari dalam diri yang entah apa itu untuk berjilbab ya meskipun model jilbabnya ya itu ke itu saja.



Kalau yang sudah lama kenal, pasti tahu betapa senangnya seorang Reza yang dulu pergi dengan kaos pendek sedikit longgar, celana pendek selutut, sendalan doang, dan rambut dikuncir. Bisa dihitung tomboy kalau kata orang-orang. Nongkrong dengan laki-laki trus jadi perempuan satu-satunya di tongkrongan adalah kesenangan luar biasa bagiku. Eh kalau yang ini sih masih deh kayaknya. Kurang lebihnya segitulah aku dulunya, kurang lebihnya tuh seperti ini.



Kembali ke topik, aku punya pengalaman yang hampir sama dengan Kak Yetti. Hanya saja aku sedikit beruntung sebab terjadi di Masjid yang berbeda. Dulu, kayaknya itu masih SMA atau di awal-awal masa kuliah deh.



Saat itu singgahlah kami ke Kota Solok, entah untuk apa waktu itu aku lupa detailnya. Di waktu salat tentu ke masjid dong, sebab Masjid Agung itu terkenal sekali megah dan kenyamanannya. Akhirnya diajaklah aku ke Masjid Agung Kota Solok itu untuk salat. Sekali lagi, situasinya aku masih tomboy sekali dan masih bangga sekali memamerkan rambut kuncir kudaku. Saat memasuki pelataran masjid dan memarkirkan motor, aku dihampiri satpam, cemas sekali waktu itu.



Aku takut sekali diusir saat itu. Terbayang betapa malunya kalau diusir dalam situasi yang ramai saat itu. Ternyata yang dilakukan satpamnya saat itu menyodorkan baki yang berisi jilbab yang dilipat rapi, lalu dengan suara lembut saja dia menyampaikan, “Kak, di sini area wajib menutup aurat, Kakak bisa pakai ini dulu.” Itu menampar sekali sih, tetapi aku tidak dibuat malu sama sekali. Paling malu sama diri sendiri ya pasti ada. Aku merasa sakit hati? Tidak. Aku membuat cuitan di media sosial? Tidak.



Lain halnya kalau saya mendapati situasi seperti Kak Yetti di saat itu. Disuruh pergi karena merupakan area wajib menutup aurat tetapi saya tidak berjilbab? Saya pasti mengamuk, mengumpat, keluar tuh pasti semua kebun binatang. Lalu saya akan membuat status di Blackberry Messanger dan membuat cuitan di Twitter, serta tidak lupa mengumpat sepuasnya di pesbuk.



Nah, intinya sih memang harus sama-sama menjadikan ini catatan untuk introspeksi. Bagi yang belum berjilbab ya harus dengan kesadaran menyiapkan penutup auratnya jika ke Masjid, bagi Masjid ya tidak ada salahnya melakukan hal yang sama dengan Masjid Agung Kota Solok untuk mmenyediakan pula jilbab atau selendang yang bisa dipinjam.



Eh, Masjid Agung Kota Solok masih melakukan itu kan? Takutnya saya dibilang hoax pula, tetapi tulisan ini pengalaman pribadi saya itu benar-benar terjadi beberapa tahun yang lalu tanpa kubuat-buat. True story.


Sekarang ini bukan masalah wajib atau tidak wajib, sebab kedua pendapat punya dalil yang menurutku sah-sah saja untuk diakui. Jika sebagian ulama mengajarkan wajib untuk berjilbab, sebagian juga malah mengatakan tidak wajib. Panjang perdebatan kalau hal itu yang dijadikan topik, meskipun aku sependapat dengan mereka yang tidak mengatakan wajib.



Sebab kesiapan menggunakan jilbab bagiku adalah proses spiritual yang lumayan berat. Aku bahkan sembari skripsi berdebat panjang dengan hatiku sendiri mencari alasan dan menyanggahnya sendiri. Di ujung perang dalam diri sendiri itu, aku kehabisan perdebatan di pernyataan “tapi aku ingin berjilbab” dan kehabisan lanjutan kata “karena”-nya. Sebab ikhlas itu konon maknanya itu adalah tanpa alasan. Pahala dan dosa itu sudah ada malaikat yang mencatatnya, ustadz dan ustadzah juga sudah banyak yang berdakwah.



Intinya begini, berhentilah untuk menceramahi mereka yang belum berjilbab. Hal ini sensitif sekali bagi mereka yang masih menikmati kesenangan mereka, kecuali kalian memang orang yang dianggap dekat oleh yang bersangkutan. Kalau ingin memberi pencerahan, jangan pernah salah waktu atau bahkan salah cara. Cari waktu dan suasana yang tepat agar silahturahmi tetap terjaga baik. Sebab sebetul apapun yang kalian sampaikan kalau waktu dan caranya salah, ya tetap akan diterima salah sama orang lain.



Aku juga punya pengalaman berantem hanya karena kalimat “ndeh, ko yo payah urusan Angga jo Abang Angga bisuak ko” sambil melirik ke arahku yang masih tomboy. Keluarlah bacotan dan beberapa fakta yang aku dapati tentang anak-anak kampungku di Kota Padang ini. Masih memanas juga darah kalau ingat moment itu. Situasinya sedang ramai orang sekampung dan dia mengucapkan itu untuk menyindirku. Kalau masih SMA mungkin adu jontos tuh. Sampai sekarang aku pun masih tidak bisa berbaik pada orang yang bersangkutan. Dianya juga tidak merasa salah, anj*** sekali memang orang itu. HAHAHAHA.



Semoga bisa mengambil poin dari bacotanku yang tidak seberapa ini. Wassalam.



*silahkan diberi komentar saja, gaes!!

Komentar