FIlmnya 'Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini' tetapi Kita Ceritain Sekarang

Aku mau cerita tentang film yang lagi hits sekali seperti kejayaan bukunya, meskipun aku belum membaca bukunya sama sekali bahkan tidak follow media sosial penulisnya. Bahkan lagi tidak kenal sama sekali. Sama sekali. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Judulnya aja yang nanti, kita ceritanya sekarang. Hehehe. 
Pict by tirto.id
 Film ini sangat layak ditonton sekeluarga (kecuali anak di bawah 13 tahun), sekalipun ada adegan ciuman antara Awan (Rachel Amanda) dan Kale (Ardhito Pramono). Menurutku tidak apa, selama orang tua sudah menanamkan ini baik karena ini dan buruk karena itu. Sebab segalanya tentu harus jelas penjelasannya.
Pict by idntimes.com

Aku menarik kesimpulan begitu dari film ini, SEGALANYA ITU HARUS JELAS PENJELASANNYA. Terkadang kebanyakan dari kita lebih banyak diam dan mengiyakan, dibandingkan harus menolak dan menjelaskan penjelasan. Seolah sulit saja melakukannya, padahal kalau tidak dilakukan tentu panjang urusannya. Atau kalau dipendam akan berat sekali rasanya.

Aku harus terima kasih kepada Angga Sasongko untuk film ini. Seolah diberi sebuah terapi. Meskipun agak drama sendiri selepas keluar dari bioskop, pengen juga dipeluk sama Abang atau Angga. Padahal kerjaannya berdebat terus.

Harusnya aku menonton ini bersama Abang, Angga, Rani, dan Ibu tentunya. Seru pasti nonton drama keluarga ini berlima. Huhu. Kebayang lima orang dengan gengsi masing-masing ‘perang menahan air mata’. Karena memang itu kekuranganku yang kuyakin sama dengan tiga manusia itu dan tentunya turun dari Ibu kami yang jarang sekali menangis.

Seperti film drama lainnya, udah pasti alay kalau yang menilai orang sepertiku. Tidak salah dong, sesekali kembali menjadi alay. Paling mengganggu sekali itu ketika Awan kecil ditabrak motor, ekspresi seorang Ibu sudah pasti panik, Abang dan Kakak sudah pasti begitu. Tetapi adegan masyarakat yang mengerubungi mobil seperti demo itu sangat-sangat mengganggu.

Alur yang maju mundur juga membuatku tidak merasa bosan sama sekali, meskipun filmnya drama keluarga yang drama banget. Selama ini kan tontonannya harus ada komedinya, karena menonton adalah salah satu hiburan dari drama hidup ini yang alaynya minta ampun. Meskipun pas scene si Ibu siuman dan diberi tahu kalau salah satu anaknya meninggal, aku kok merasakan komedi yang tersisa di muka perawatnya.

Perawat itu diperankan oleh Dayu Wijanto, yang sangat melekat di kepalaku adalah Bu Dayu Wijanto yang ada di film-film Ernest. Padahal adegannya sedang sedih-sedihnya, muka yang kulihat malah membawa bioskop sendiri dalam ingatan. Bersyukurnya karena itu aku tidak menangis dong, terbayang lucu-lucuan dari film-film Ernest. Sip,nonton drama tanpa menangis. Pemain-pemain lain juga tidak kalah keren menyuguhkan peran mereka di film ini. 

Saat rahasia sang Ayah terbongkar adalah saat sesegukan satu studio, kecuali aku tentunya. *muka sombong. Nangis iya, tetapi tidak sampai seperti orang lain yang sesegukan. Ih alay. wkkwkwk.
 
Bagus atau tidak itu sangat relatif, tapi bagisku ini dekat sekali dengan kehidupanku, kehidupan banyak orang. Kalau tidak seperti itu, tidak mungkin bukunya masuk dalam jajaran best seller. Asli sih, ini film drama yang drama doang tetapi aku suka filmnya. Suka sekali. Mungkin kalau tidak diselipkan adegan ciuman, semua umur patut bahkan harus menonton ini. Selepas ini patut dicari bukunya a.k.a meminjam buku teman. HAHAHA.

Komentar

Posting Komentar